Selasa, 03 November 2015

Cara bersuci dari hadas yang benar

Di beberapa ayat di dalam Al Qur’an, Allah memuji orang-orang yang mau mensucikan diri. Semisal
dalam firman-Nya (yang artinya),Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan mencintai pula orang-orang yang mensucikan diri”(QS. Al Baqarah : 222). Apa sebenarnya definisi bersuci dalam Islam? Bagaimana tata cara pelaksanaannya?

Definisi dan Hukum Bersuci dalam Islam

Dalam syariat Islam, yang dimaksud dengan bersuci adalah menghilangkan perkara yang dapat menghalangi seseorang untuk melaksanakan shalat, thawaf, atau menyentuh Al Qur’an. Perkara tersebut dapat berupa hadats ataupun najis. Hukum bersuci dari najis adalah wajib sesuai kemampuan yang bisa dilakukan oleh seseorang, sedangkan hukum bersuci dari hadats adalah wajib dalam rangka sahnya shalat seseorang.

Hadats dan Najis: Definisi dan Perbedaannya

Hadats adalah istilah yang menunjukkan kondisi badan seseorang yang tidak boleh baginya melaksanakan shalat, thawaf, atau menyentuh Al Qur’an. Hadats terbagi dua, yaitu hadats kecil dan hadats besar. Hadats kecil adalah kondisi badan seseorang yang apabila ia ingin melaksanakan shalat, thawaf, atau menyentuh Al Qur’an, maka ia harus berwudhu terlebih dahulu. Di antara yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi berhadats kecil adalah setelah buang air kecil, setelah buang air besar, kentut, dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan hadats besar adalah kondisi badan seseorang yang apabila ia ingin melaksanakan shalat, thawaf, atau menyentuh Al Qur’an, maka ia harus mandi terlebih dahulu. Diantara yang menyebabkan seseorang berada dalam kondisi berhadats besar adalah setelah keluarnya air mani baik karena hubungan badan atau bukan, berhenti dari haidh dan nifas, dan lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan najis adalah benda atau pun zat yang dinilai kotor dalam kacamata Islam (bukan dalam kacamata subjektif seseorang) yang bisa menempel pada badan, pakaian, tempat, dan sebagainya. Contoh benda yang tergolong dalam najis adalah air kencing dan kotoran manusia, madzi dan wadi, darah haid, air liur anjing, dan lain-lain.
Ringkasnya, hadats merujuk pada “kondisi tubuh seseorang” adapun najis merujuk pada “zat ataupun benda” yang bisa saja menempel pada tubuh, tempat, atau pakaian. Sebagai contoh, seorang yang selesai buang air kecil maka kondisinya menjadi berhadats kecil, sedangkan air seni yang dibuang tergolong dalam najis.

Cara Bersuci dari Hadats

Sebagaimana telah disampaikan, hadats kecil bisa dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar bisa dihilangkan dengan cara mandi. Dalam kondisi tertentu, wudhu dan mandi bisa digantikan hanya dengan tayamum. Berikut akan dijelaskan secara global mengenai tata cara pelaksanaan ketiganya.

Wudhu

Yang dimaksud dengan wudhu dalam syariat Islam adalah menggunakan air dengan cara tertentu, pada bagian anggota tubuh tertentu yang telah ditentukan oleh syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak diterima shalat salah seorang di antara kalian yang berhadats, kecuali ia telah berwudhu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Terdapat sebuah hadits yang terkenal yang menjelaskan secara rinci bagaimana tata cara wudhu yang dilakukan oleh Nabi, yaitu hadits yang diriwayakan oleh Humron budak ‘Utsman bin ‘Affan. Berdasarkan hadits tersebut dan hadits-hadits lainnya, terdapat sepuluh poin tata cara wudhu yang sempurna yang diajarkan oleh Nabi. Berikut 10 sifat tersebut yang harus dilakukan secara berurutan:
(1) berniat dalam hati untuk menghilangkan hadats,
(2) membaca “Bismillāh”,
(3) mencuci kedua telapak tangan sebanyak tiga kali,
(4) mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke mulut dan hidung untuk digunakan berkumur, dilakukan sebanyak tiga kali,
(5) mengeluarkan air yang telah dimasukkan ke dalam mulut dan hidung tersebut dengan menggunakan tangan kiri,
(6) membasuh seluruh bagian wajah sebanyak tiga kali dan menyela-nyela jenggot bagi yang memiliki jenggot,
(7) membasuh tangan kanan dan tangan kiri sampai batas sikut dan disertai dengan menyela jari jemari,
(8) mengusap kepala dari arah depan ke belakang dengan sekali usapan,
(9) mengusap bagian luar dan bagian dalam kedua daun telinga,
(10) membasuh kedua telapak kaki sampai batas mata kaki dan menyela-nyela jari jemari kaki.

Mandi junub

Definisi mandi junub secara syariat adalah mengguyurkan air yang suci ke seluruh bagian tubuh secara merata. Hukum mandi junub adalah wajib ketika seseorang dalam kondisi berhadats besar. Terdapat dua cara mandi junub, yaitu cara standar dan cara yang lebih sempurna. Cara standar yaitu apabila seseorang telah (1) berniat mandi dalam rangka menghilangkan hadats dan (2) telah mengguyurkan air secara merata ke seluruh anggota tubuhnya baik kulit ataupun rambut. Apabila ingin melakukan mandi yang lebih sempurna, maka bisa melakukan langkah-langkah berikut:
(1) berniat dalam hati,
(2) membasuh kedua telapak tangan sebelum mengambil air dari wadahnya,
(3) membasuh kemaluan dengan tangan kiri,
(4) kembali membasuh tangan dan dianjurkan menggunakan pembersih seperti sabun,
(5) berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat,
(6) menuangkan air ke kepala sebanyak tiga kali hingga mencapai dasar rambut, dimulai dengan bagian kanan lalu bagian kiri sambil menyela-nyela rambut dengan jemari,
(7) mengucurkan air ke seluruh bagian tubuh dimulai dari bagian kanan lalu bagian kiri.
Seorang yang telah mandi wajib, baik dengan cara standar atau pun dengan cara sempurna, tidak lagi perlu melakukan wudhu setelahnya untuk melaksanakan shalat.

Tayamum

Yang dimaksud dengan tayamum dalam syariat Islam adalah menggunakan debu sebagai pengganti wudhu dan mandi. Allah berfirman tentang tayamum (yang artinya), “kemudian jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (suci)” (QS. An Nisaa’ : 43).
Terdapat dua kondisi yang membolehkan seseorang bertayamum. Pertama, jika tidak mendapatkan air, baik dalam kondisi safar atau pun tidak. Kedua, apabila memiliki uzur untuk menggunakan air, seperti karena sakit yang akan menyebabkan sakitnya bertambah parah apabila terkena air.
Berdasar hadits shahih yang diriwayatakan oleh Imam Ahmad dari ‘Ammar dan dari hadits lainnya, bisa disimpulkan bahwa tata cara tayamum adalah:
(1) berniat dalam hati,
(2) membaca “Bismillāh”,
(3) memukulkan kedua tangan ke permukaan bumi (atau tembok) dengan satu kali pukulan,
(4) meniup debu yang menempel pada kedua telapak tangan,
(5) mengusapkan kedua telapak tangan ke wajah, dan
(6)mengusapkan telapak tangan kanan ke telapak tangan bagian kiri hingga batas pergelangan tangan dan mengusapkan telapak tangan kiri ke telapak tangan bagian kanan hingga batas pergelangan tangan.

Cara Bersuci dari Najis

Adapun cara mensucikan najis secara umum cukup dengan membasuhnya hingga zat dari najis tersebut hilang. Apabila dalam sekali basuhan najis tersebut telah hilang, maka tidak lagi perlu diulangi dibasuh. Terdapat pengecualian untuk jilatan anjing, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammenjelaskan bahwa cara mensucikannya yaitu dengan membasuhnya sebanyak tujuh kali yang salah satunya dengan menggunakan tanah.
Dari definisi hadats dan najis yang telah disampaikan di atas, bisa disimpulkan bahwa tidak setiap hadats adalah najis, dan tidak setiap najis adalah hadats. Contohnya adalah air mani yang apabila keluar dari kemaluan seseorang maka menyebabkan ia berhadats besar dan wajib mandi. Namun apabila seseorang shalat dengan pakaian yang masih tertempel air mani maka shalatnya tetap sah, karena air mani bukanlah najis. Contoh lainnya adalah apabila seseorang yang telah berwudhu lalu ia buang air besar maka wudhunya batal dan menyebabkan ia berhadats kecil. Akan tetapi apabila ia menginjak benda najis, ia wajib mensucikannya sebelum shalat, akan tetapi tidak wajib untuk berwudhu kembali.

Penutup

Karena alasan keterbatasan, apa yang disampaikan pada pembahasan ini adalah penjelasan secara global dan tidak menyinggung banyak perbedaan pendapat ahli fikih di dalamnya. Pembahasan fikih adalah pembahasan yang memerlukan banyak rincian dan memiliki banyak perbedaan pendapat. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut, pembaca bisa merujuk ke buku-buku fikih yang menyajikan pembahasan yang lebih komprehensif. Wallahu bi ahkamihi a’lam.

sumber : http://buletin.muslim.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar